Saat
gelombang menyapu tenangnya samudera, saat hujan menghapus jejak langkah yang
telah ditapaki, sejak itulah kepercayaan dua insan di uji melalui kekuatan
hatinya. Berawal dari keutuhan cinta yang begitu istimewa, hingga berujung pada
suatu celah ketidak yakinan seorang insan terhadap belahan jiwanya.
Saat mentari membasuh dinginnya
pagi, terlihat seorang pemuda dengan ceria nya sedang duduk di atas sepeda.
Nampaknya kala itu, dia sedang menunggu seseorang. Dia begitu risau sembari
melihat jam dipergelangan tangannya. Beberapa saat berlalu, wanita dengan elok
rupawan mulai menghampiri pemuda tersebut. Ternyata wanita itulah yang ia
tunggu sejak tadi. Dengan senyum hangat menyapa, pemuda dan gadis tersebut
mulai pergi dengan sepeda kayuh yang dimiliki pemuda itu. Meski zaman telah
berganti, keduanya masih tersenyum lebar bertatapan dengan penuh cinta walau
hanya menaiki sepeda.
Tibalah disuatu rumah, rumah yang
selalu menjadi penghangat pemuda, rumah yang selalu ada saat jiwa mulai
kelelahan. Yah, dirumah itulah sang pemuda tinggal. Mereka istirahat sejenak
dari rutinitas yang begitu melelahkan. Sang gadis bersandar di bahu pemuda
tersebut, seolah dia membutuhkan sandaran seseorang yang sangat dia cintai.
Keduanya memang telah bertunangan 2 tahun yang lalu. Mereka dipertemukan dengan
cara yang sederhana namun begitu indah bagi mereka berdua. Senyap terasa
dirumah itu, lalu mulailah percakapan antara keduanya.
“Sayang..”,
sapa wanita yang bernama fia itu.
“Iya
sayang..”, sahut laki-laki menatap nya dengan kelembutan, laki-laki yang
bernama zanil.
“Kira-kira
kapan kita akan melangsungkan pernikahan sayang?”, Tanya fia dengan dengan mata
penuh harap.
“Sabar
ya sayang, aku masih mencari pekerjaan yang layak agar kita bisa segera
menikah.”, jawab zanil dengan resah.
“Iya
sayang, aku akan menunggu. Pintu rumahku selalu terbuka untukmu datang bersama
orang tuamu membicarakan hari bahagia kita berdua.”, fia berharap
“Pasti
sayang, pasti akan tiba saat nya kita dipertemukan kembali dengan suatu
keluarga utuh antara kau dan aku, membicarakan hal yang selalu kita impi
impikan”, jawab zanil sembari mencium kening fia serasa ingin mewujudkan impian
mereka menuju pernikahan.
Meskipun keduanya telah lama
menjalin tali kasih, namun bagi fia, sosok zanil merupakan sosok laki-laki yang
selalu dia impikan menjadi imam dalam keluarga kecil nya kelak. Zanil yang
selalu membuat dia menjadi wanita yang berharga, laki-laki yang selalu
mengembalikan senyum fia yang telah lama hilang. Cinta Fia terhadap Zanil takkan
habis ditelan masa. Baginya, kehadiran Zanil sebagai penyejuk duka lara,
penyejuk hati yang gundah gulana. Hanya Zanil lah yang selalu Fia harapkan,
takkan ada yang lainnya.
“Sayang,
sudah memasuki waktu ashar, sholat dulu yuk.”, ajak fia.
“Iya
sayang, abis ini kita ngaji bareng ya. Sudah lama rasanya tidak merasakan ngaji
bersama-sama.”, pinta zanil tersenyum.
“He’em,
ayuk..”, jawab fia.
Dalam linangan air mata, do’a mereka
panjatkan. Memohon agar selalu diberi kesempatan untuk saling menyayangi dan merawat
satu sama lain. Berharap bisa secepatnya bersatu dengan meminta rezeki yang
berlimpah bagi keduanya. Dengan penuh kasih sayang, fia mencium tangan calon
imam bagi keluarga kecilnya itu, zanil pun membalas mencium kening fia dengan
sebaris do’a yang dia penjatkan didalamnya.
Waktu
sudah hampir senja, waktunya zanil
mengantarkan fia pulang ke kontrakan. Besok fia harus memulai kerja pertama
nya.
“Kamu
gak malu naik sepeda ini bersamaku?”, tanya zanil.
“Kenapa
harus malu? Asal bersamamu, semuanya akan aku lalui. Jangan berbicara seperti
itu, aku terima semua keadaanmu saat kondisi tersulit apapun itu.”, jawab fia
dengan tersenyum.
“Iya
sayang..”, sahut zanil.
Semakin lama, mereka jarang bertemu.
Fia sibuk dengan pekerjaannya, Zanil pun juga sibuk dengan pekerjaan yang dia
miliki sekarang. Sampai suatu saat, Fia ingin mendengar suara Zanil dalam
kesibukannya.
“Sayang
gimana kabarnya? Ada waktu luang gak, mari kita bertemu.”, Ajak Fia.
“Maaf
ya sayang, aku masih sibuk akhir pekan ini, masih banyak pekerjaan yang harus
aku selesaikan.”, jawab Zanil ditengah kesibukannya lalu menutup telfonnya.
Fia merasa malam itu berbeda dengan
malam-malam sebelumnya sebelum dia dan Zanil bekerja. Malam beberapa pekan itu
begitu asing bagi Fia, tak sama dengan malam yang selalu dia lewatkan bersama
Zanil dibawah hamparan bintang-bintang yang menghiasi angkasa. Sampai beberapa
hari kemudian, Zanil mengajak Fia untuk bertemu. Fia merasa bahagia, waktu yang
dia harapkan, akhirnya datang juga.
“Makasi
banget ya sayang, kamu sudah mau ngajak aku bertemu di tengah kesibukan mu.”,
ucap Fia dengan hati berbunga-bunga.
“Iya
sayang, sebenarnya bukan Cuma itu niatku mengajakmu bertemu malam ini”, jawab
Zanil sambil menunduk.
“Ada
apa sayang?”, tanya Fia penasaran.
“Begini,
besok aku harus melakukan penerbangan pertamaku ke luar negeri karena urusan
pekerjaan, aku ingin pamitan untuk sementara waktu”, jelas Zanil
Dengan
uraian air mata, Fia sangat berat melepas kepergian Zanil. Dia tidak terbiasa
tanpa Zanil disisinya. Orang yang selalu melindungi dan menemaninya setiap Fia
membutuhkannya. Namun, demi masa depan Fia dan Zanil yang lebih cerah, Fia
akhirnya mengizinkan Zanil pergi meski dengan hati yang tak rela. Mungkin ini
jalannya, jalan rezeki yang Allah berikan agar secepatnya keduanya
melangsungkan hari bahagia, hari pernikahan mereka.
Telah
satu bulan waktu itu rasanya berlalu, namun Zanil tak kunjung memberikan kabar.
Fia berulang kali menelfon nya, tak kunjung pula Zanil mengangkatnya. Fia
bertanya-tanya, sampai sesibuk itu kah dia tak mau mengangkat telfonku walau
hanya berkata “hai” saja? Fia benar-benar sedih, jarak membuat perubahan besar
dalam hidupnya dengan Zanil. Jarak yang memisahkan, jarak yang tak memberikan
ruang untuk saling melepas kerinduan. Terkadang ingin rasanya membunuh jarak
agar Fia merasakan kedekatan kembali dengan kekasih jiwanya itu.
Suatu
sore yang begitu kelam untuk kehidupan Fia, dia mengunjungi rumah kontrakan
yang selalu Zanil jadikan tempat beristirahatnya. Dia melangkah demi langkah,
meraih benda yang berada dihadapannya. Ya, sepeda ontel yang telah menjadi
saksi bisu berjuta kenangan yang telah mereka lalui bersama. Melalui sepeda
itulah, Fia berimajenasi mengukir kembali kenangan indah yang pernah mereka
lalui bersama. Dia elus sepeda tua yang telah tak terawat itu, dia kembali
berharap agar kekasihnya pulang untuk menghampirinya. Air mata itupun tak
terbendung, tetes demi tetes air mata itu jatuh mengusap dan mengalir diantara
celah sepeda yang penuh karat itu. Tak kuat dia merasakan perpisahan yang
begitu lama dan begitu pahit untuk dia jalani sendiri.
“Nak,
kamu gak pulang?”, tanya ibunda Fia melalui telepon genggam yang Fia berikan.
“Belum
bu, aku disini masih menunggu mas Zanil.”, jawab Fia berkaca-kaca.
”Bukan
kah hari liburmu telah tiba? Pulang lah nduk, tunggu Zanil dirumah saja. Kalau
dia pulang, dia pasti akan menemuimu dirumah.”, rengek ibunda Fia.
“Tunggu
beberapa hari lagi ya bu, mas Zanil bilang akhir bulan dia pasti pulang. Masa
tenggang dia di luar negeri sudah habis bu. Ijinkan aku menunggu nya beberapa
hari lagi ya bu”, pinta Fia berlinang air mata.
“Iya
sudah nduk kalau itu kemauanmu, ibu hanya berdo’a agar nak Zanil cepat pulang
ya nduk. Assalamu’alaikum.”, tutup ibunda Fia.
“Wa’alaikumsalam.”,
jawab Fia mengakhiri telefon dengan ibunda nya.
Fia
yang semula memiliki tubuh yang ideal, akhir bulan ini terlihat begitu kurus.
Wajah yang dulu berseri-seri, kini lusuh tak seceria dulu. Dia memiliki banyak
pikiran, memikirkan Zanil yang sampai detik itu tak kunjung menghubungi nya.
Akhir
bulan telah datang, hari dimana Zanil akan pulang dengan membawa keindahan yang
selalu Fia nantikan. Sejak pagi, Fia sudah bersiap diri menunggu kekasih hati
pulang menemui dirinya. Hingga pada suatu sore, terdengar ketukan pintu dari
luar kontrakan Fia. Dengan sigap Fia menghampiri menuju pintu, dan mulai
menarik ganggang pintu dengan cepat. Dan....
“Mas
Zanil...”, teriak Fia sambil memeluk Zanil dengan penuh kerinduan.
“Kenapa
keadaanmu seperti ini? Kenapa kamu kurusan?”, tanya Zanil.
“Apa
kamu tidak sadar kalau disini ada orang yang menunggu kepulanganmu? Kenapa sama
sekali tak memberiku kabar selama disana? Apakah sudah lupa dengan calon
istrimu disini?”, tanya Fia dengan penuh kesedihan.
“Maaf
sayang, bukan maksudku seperti itu sayang. Tapi selama disana, ponselku disita.
Jadi aku gak bisa menghubungi kamu, termasuk keluargaku”, jawab Zanil dengan
penuh penyesalan.
“Apa
gak bisa memakai telepon yang lain? Aku khawatir disini menantikan kabar
darimu”, tanya Fia
“Maaf
sayang, sekali lagi maaf. Aku sama sekali gak ingat berapa nomor telepon sayang
dan orang rumah. Aku benar-benar minta maaf.”, permintaan maaf Zanil.
“Baiklah,
setidaknya kamu telah sampai disini dengan selamat. Setidaknya kau pulang
disini kembali untukku.”, ucap Fia.
Fia
mempersilahkan Zanil masuk. Sembari menikmati makan malam, Zanil bercerita
banyak tentang pengalaman luar biasa yang dimiliki nya. Tentang keluh kesah
kerinduan yang setiap detik menghampirinya. Zanil tak henti-hentinya memikirkan
pujaan hatinya itu. Memikirkan bagaimana keadaan calon pendaming hidupnya
melewati hari-hari tanpa kehadiran dirinya disisi Fia.
Namun
setelah pulang, cobaan kembali menghadang didepan mata mereka. Setelah Fia
berkunjung kerumah Zanil, dengan sengaja orang tua Zanil menyindir keadaan
calon menantu nya itu.
“Harusnya
anakku mendapatkan wanita yang sesuai, yang sederajat dengan anakku. Lihatlah,
anakku kini mulai sukses. Tapi apa yang dia dapatkan? Entahlah.”, sindir ibu
Zanil didepan Fia.
Fia
hanya bisa diam, dia mengerti bagaimana keadaan dan kondisi dia saat ini. Semua
terserah Zanil, jika Zanil menginginkan dia tetap bersama nya, dia akan selalu
setia menemani Zanil sampai waktu yang memisahkan. Namun kehendak berkata lain,
Zanil termakan dan terhasut dengan kata-kata ibu nya. Perlahan-lahan dia mulai
menghindar dan meninggalkan Fia. Fia merasa, hatinya begitu sakit. Ini balasan
selama 5 tahun, balasan terhadap Fia yang selalu ada untuk Zanil. Saling
berjanji untuk terus bersama. Sakit rasanya. Namun, mungkin ini sudah suratan
takdir, Fia menerima semua yang terjadi dengan lapang dada. Mungkin Zanil
memang bukan yang terbaik untuk mendampingi hidupnya.
Suatu
sore yang begitu sunyi, terdengar jelas ketukan pintu dari luar rumah Fia.
Dengan perlahan, Fia membuka pintu. Terlihat Zanil dan ibu nya dibalik pintu.
Fia penasaran, apa yang membuat mereka datang menemuinya.
“Ada
apa kalian datang kemari? Silahkan masuk dulu.”, ucap Fia mempersilahkan masuk.
“Gak
usah, kita gak mau berlama-lama. Kita cuma mau ngasih ini”, jawab ibu Zanil
sambil menyodorkan sebuah lipatan yang menyerupai kertas.
Zanil
dan ibu nya pun beranjak pergi dari hadapan Fia.
Perlahan
namun begitu pasti, Fia mulai membuka lembaran kertas itu. Isi didalamnya
sangat jelas tertulis nama Zanil dengan Hera diatas lembaran kertas yang
menjamin kebahagiaan Zanil nantinya. Ya, undangan pernikahan Zanil telah ada
dalam genggaman Fia. Seketika, Fia tak berdaya, lemah dan mulai terjatuh.
Tangisan kekecewaan pun larut dalam matanya yang sembab. Begitu dalam perasaan
yang Fia punya untuk Zanil, namun seketika itu pula dia harus benar-benar
melepas Zanil. Begitu mudahnya Zanil memutuskan hubungan itu dengannya, tanpa
belas kasih, tanpa pula permintaan maaf dari bibir yang selalu menuangkan kata
cinta beberapa bulan yang lalu. Kebahagiaan itu seakan musnah, hilang tak
berbekas. Fia tidak tau apa yang harus dia lakukan, dia akhirnya membuang
cincin yang selalu dia pakai di jari manisnya, cincin yang selalu dia jaga
sebagai simbol ikatan hubungan yang telah mereka bina. Namun semua itu telah
berakhir. Tak ada lagi harapan dan kenangan yang mesti Fia ingat kembali. Hari
kemarin hanyalah masa lalu yang tidak akan pernah menjadi masa depan yang cerah.
“Ibu...”,
tangis Fia dipangkuan ibunda nya.
“Ibu
sudah tau nduk, yang sabar ya. Kamu harus bangkit dari masa lalumu itu nduk.”,
ucap Ibunda Fia
“Iya
bu, dia pasti sudah bahagia dengan pilihan orang tua dan dirinya. Bu, carikan
aku jodoh yang engkau ridhoi bu. Ku serahkan sama ibu, bangkitkan aku dari
keterpurukan ini bu”, pinta Fia.
“Kalau
itu mau mu nduk, ibu akan mencarikan laki-laki yang InsyaAllah baik bagimu
nduk.”, jawab ibunda Fia dengan nada sedih.
Waktu
pun telah berlalu, Fia perlahan telah bisa beraktivitas seperti sedia kala.
Menghapus jejak-jejak masa lalu yang pernah membayangi pikirannya. Hari itu pun
datang, hari yang cerah bagi jiwa Fia yang telah lama sepi. Rombongan keluarga
mendatangi rumah Fia. Keluarga tersebut adalah tak lain dan tak bukan, keluarga
yang menginginkan Fia menjadi pendamping hidup anak mereka. Namanya Febri.
Pertemuan kedua belah pihak keluarga membuahkan hal yang manis dan
membahagiakan, saat itu pula kedua keluarga menyatukan tali silaturahmi dengan
mengikatkan hubungan antara Fia dan Febri.
Tak
lama kemudian, selang satu bulan, Fia dan Febri atas restu Allah mereka dapat melangsungkan
pernikahan di rumah Fia. Keduanya pun begitu bahagia. Nampaknya Fia telah
berhasil berjuang melupakan masa lalu nya. Kini yang ada dalam pikiran Fia,
bagaimana caranya agar dia dapat membahagiakan suami dan keluarga kecil nya
kelak. Keluarga Fia dan Febri merupakan suatu keluarga yang sempurna. Keduanya
begitu menyayangi Febri dan Fia. Fia merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya
dengan Febri, dia adalah sosok laki-laki yang sebenarnya dia inginkan. Terlebih
kebahagiaan itu jauh lebih sempurna dengan hadirnya tangisan seorang bayi
laki-laki ditengah-tengah keluarga kecil mereka.
Namun
dibalik kebahagiaan Fia, kehidupan Zanil berbanding terbalik dengan apa yang
dirasakan oleh keluarga kecil Fia. Bertahun-tahun dia menikahi Hera, namun tak
pula dikaruniai seorang anak. Ibu Zanil kesal dan kecewa terhadap Hera yang
selama ini Ibu Zanil perjuangkan dan pertahankan, ternyata tidak memberikan kebahagiaan
dengan hadirnya seorang bayi mungil dikehidupan mereka. Lantas pada akhirnya
Ibu Zanil mengetahui bahwa Fia telah menikah dan dikaruiani seorang anak
laki-laki.
“Lihat
tuh si Fia, dia malah lebih jauh bahagia daripada kita saat ini. Dia telah menikah
dan dikarunai seorang anak laki-laki yang gagah. Apa kamu gak malu Nil sama
keluarga mereka? Pasti mereka bahagia diatas penderitaan keluarga kita”, ucap
Ibu Zanil dengan lantang.
“Sudah
lah bu, kita punya kehidupan sendiri. Mungkin kebahagiaan kita bukan terletak
pada seorang anak. Siapa tau suatu saat nanti Allah menjawab do’a kita”, jawab
Zanil.
“Iya,
tapi sampai kapan? Sudah 5 tahun kamu beristri Hera. Tapi nyatanya dia tidak
memberikan apa-apa sama keluarga ini. Ibu gak mau tau, kamu ceraikan dia.
Secepatnya !!!”, bentak Ibu Zanil lalu berlalu pergi.
“Tapi buuuu...”, ucap Zanil
Zanil
begitu teriris melihat kelakuan ibunya yang semakin hari selalu menuruti
keirian dan kedengkian. Namun bagaimanapun, dia tetap lah ibunda yang selalu
merawatnya.
Setelah
perceraian itu, Zanil merasa menjadi boneka yang selalu harus menuruti
permintaan ibunya yang sama sekali tidak dia kehendaki. Saat itu pula dia mulai
terlintas memikirkan Fia. Dia mulai menyadari, yang selalu ada untuknya selama
ini hanya Fia. Dia yang rela menunggu beberapa bulan demi kedatangannya dan
selalu menjaga hatinya sampai Zanil kembali. Dia yang selalu support Zanil
untuk melangkah sukses, dia juga yang mau bersusah-susah dengan Zanil dulu saat
Zanil tak punya apa-apa. Ya, semua alasan itu kini tertuju pada Fia. Dia
merupakan sebaik-baiknya wanita yang Zanil kecewakan demi iming-iming perempuan
yang sama sekali tak mengerti dirinya. Dia juga yang tak berjuang
mempertahankan dan memberi penjelasan tentang apa yang telah dilakukan Fia
selama dengannya pada saat Ibu nya mengucilkan dan merendahkan harga diri Fia.
Sampai akhirnya dia terima begitu saja wanita yang sama sekali belum dia kenal
dan tidak pernah dia cintai sesudahnya.
“Bagaimana
keadaan Fia saat ini ya? Apa dia sudah benar-benar bisa hidup tanpa aku? Ahh,
biarkan lah dia bahagia, ini semua salahku yang terlalu menyia-nyiakannya dulu.
Maafkan aku Fia..”, pikir Zanil
Saat
itu, Zanil melintas didepan rumah keluarga kecil Fia. Dia melihat Fia bersama
suami dan putra tercintanya. Zanil meneteskan air mata, dia berfikir harusnya
dia yang berada disamping Fia saat ini, bukan Febri. Namun keadaan ini
merupakan hal yang nyata yang tidak bisa Zanil ubah kembali. Kekecewaan yang
pernah dia torehkan pada hati orang lain menimbulkan petaka bagi keluarga nya
sendiri. Zanil harus mampu merelakan Fia ditangan Febri, sama seperti Fia yang
dulu pernah berjuang keras melupakan Zanil demi kebahagiaannya. Takdir
terkadang berbeda dengan apa yang kita rencanakan. Jodoh memang ditangan Allah,
namun sebaiknya saat ini mulai membuka hati dan pikiran untuk melangkah lebih
serius, agar penyesalan itu tak akan terjadi dikemudian hari.
Rawatlah
yang telah menjadi milikmu kini, bisa jadi suatu saat nanti ketika dia pergi,
dia merupakan sosok yang sebenarnya kamu harapkan untuk mendampingi
hari-harimu. Jangan kecewakan dia yang mencintaimu lebih dari apa yang kau tau.
Karena dia yang sebenarnya selalu ada disaat kamu terjatuh.
No comments:
Post a Comment