Pages

Powered by Blogger.

Friday, January 9, 2015

Antara Takdir Dan Do’a


Saat gelombang menyapu tenangnya samudera, saat hujan menghapus jejak langkah yang telah ditapaki, sejak itulah kepercayaan dua insan di uji melalui kekuatan hatinya. Berawal dari keutuhan cinta yang begitu istimewa, hingga berujung pada suatu celah ketidak yakinan seorang insan terhadap belahan jiwanya.
            Saat mentari membasuh dinginnya pagi, terlihat seorang pemuda dengan ceria nya sedang duduk di atas sepeda. Nampaknya kala itu, dia sedang menunggu seseorang. Dia begitu risau sembari melihat jam dipergelangan tangannya. Beberapa saat berlalu, wanita dengan elok rupawan mulai menghampiri pemuda tersebut. Ternyata wanita itulah yang ia tunggu sejak tadi. Dengan senyum hangat menyapa, pemuda dan gadis tersebut mulai pergi dengan sepeda kayuh yang dimiliki pemuda itu. Meski zaman telah berganti, keduanya masih tersenyum lebar bertatapan dengan penuh cinta walau hanya menaiki sepeda.
            Tibalah disuatu rumah, rumah yang selalu menjadi penghangat pemuda, rumah yang selalu ada saat jiwa mulai kelelahan. Yah, dirumah itulah sang pemuda tinggal. Mereka istirahat sejenak dari rutinitas yang begitu melelahkan. Sang gadis bersandar di bahu pemuda tersebut, seolah dia membutuhkan sandaran seseorang yang sangat dia cintai. Keduanya memang telah bertunangan 2 tahun yang lalu. Mereka dipertemukan dengan cara yang sederhana namun begitu indah bagi mereka berdua. Senyap terasa dirumah itu, lalu mulailah percakapan antara keduanya.
“Sayang..”, sapa wanita yang bernama fia itu.
“Iya sayang..”, sahut laki-laki menatap nya dengan kelembutan, laki-laki yang bernama zanil.
“Kira-kira kapan kita akan melangsungkan pernikahan sayang?”, Tanya fia dengan dengan mata penuh harap.
“Sabar ya sayang, aku masih mencari pekerjaan yang layak agar kita bisa segera menikah.”, jawab zanil dengan resah.
“Iya sayang, aku akan menunggu. Pintu rumahku selalu terbuka untukmu datang bersama orang tuamu membicarakan hari bahagia kita berdua.”, fia berharap
“Pasti sayang, pasti akan tiba saat nya kita dipertemukan kembali dengan suatu keluarga utuh antara kau dan aku, membicarakan hal yang selalu kita impi impikan”, jawab zanil sembari mencium kening fia serasa ingin mewujudkan impian mereka menuju pernikahan.
            Meskipun keduanya telah lama menjalin tali kasih, namun bagi fia, sosok zanil merupakan sosok laki-laki yang selalu dia impikan menjadi imam dalam keluarga kecil nya kelak. Zanil yang selalu membuat dia menjadi wanita yang berharga, laki-laki yang selalu mengembalikan senyum fia yang telah lama hilang. Cinta Fia terhadap Zanil takkan habis ditelan masa. Baginya, kehadiran Zanil sebagai penyejuk duka lara, penyejuk hati yang gundah gulana. Hanya Zanil lah yang selalu Fia harapkan, takkan ada yang lainnya.
“Sayang, sudah memasuki waktu ashar, sholat dulu yuk.”, ajak fia.
“Iya sayang, abis ini kita ngaji bareng ya. Sudah lama rasanya tidak merasakan ngaji bersama-sama.”, pinta zanil tersenyum.
“He’em, ayuk..”, jawab fia.
            Dalam linangan air mata, do’a mereka panjatkan. Memohon agar selalu diberi kesempatan untuk saling menyayangi dan merawat satu sama lain. Berharap bisa secepatnya bersatu dengan meminta rezeki yang berlimpah bagi keduanya. Dengan penuh kasih sayang, fia mencium tangan calon imam bagi keluarga kecilnya itu, zanil pun membalas mencium kening fia dengan sebaris do’a yang dia penjatkan didalamnya.
Waktu sudah hampir  senja, waktunya zanil mengantarkan fia pulang ke kontrakan. Besok fia harus memulai kerja pertama nya.
“Kamu gak malu naik sepeda ini bersamaku?”, tanya zanil.
“Kenapa harus malu? Asal bersamamu, semuanya akan aku lalui. Jangan berbicara seperti itu, aku terima semua keadaanmu saat kondisi tersulit apapun itu.”, jawab fia dengan tersenyum.
“Iya sayang..”, sahut zanil.
            Semakin lama, mereka jarang bertemu. Fia sibuk dengan pekerjaannya, Zanil pun juga sibuk dengan pekerjaan yang dia miliki sekarang. Sampai suatu saat, Fia ingin mendengar suara Zanil dalam kesibukannya.
“Sayang gimana kabarnya? Ada waktu luang gak, mari kita bertemu.”, Ajak Fia.
“Maaf ya sayang, aku masih sibuk akhir pekan ini, masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan.”, jawab Zanil ditengah kesibukannya lalu menutup telfonnya.
            Fia merasa malam itu berbeda dengan malam-malam sebelumnya sebelum dia dan Zanil bekerja. Malam beberapa pekan itu begitu asing bagi Fia, tak sama dengan malam yang selalu dia lewatkan bersama Zanil dibawah hamparan bintang-bintang yang menghiasi angkasa. Sampai beberapa hari kemudian, Zanil mengajak Fia untuk bertemu. Fia merasa bahagia, waktu yang dia harapkan, akhirnya datang juga.
“Makasi banget ya sayang, kamu sudah mau ngajak aku bertemu di tengah kesibukan mu.”, ucap Fia dengan hati berbunga-bunga.
“Iya sayang, sebenarnya bukan Cuma itu niatku mengajakmu bertemu malam ini”, jawab Zanil sambil menunduk.
“Ada apa sayang?”, tanya Fia penasaran.
“Begini, besok aku harus melakukan penerbangan pertamaku ke luar negeri karena urusan pekerjaan, aku ingin pamitan untuk sementara waktu”, jelas Zanil
Dengan uraian air mata, Fia sangat berat melepas kepergian Zanil. Dia tidak terbiasa tanpa Zanil disisinya. Orang yang selalu melindungi dan menemaninya setiap Fia membutuhkannya. Namun, demi masa depan Fia dan Zanil yang lebih cerah, Fia akhirnya mengizinkan Zanil pergi meski dengan hati yang tak rela. Mungkin ini jalannya, jalan rezeki yang Allah berikan agar secepatnya keduanya melangsungkan hari bahagia, hari pernikahan mereka.
Telah satu bulan waktu itu rasanya berlalu, namun Zanil tak kunjung memberikan kabar. Fia berulang kali menelfon nya, tak kunjung pula Zanil mengangkatnya. Fia bertanya-tanya, sampai sesibuk itu kah dia tak mau mengangkat telfonku walau hanya berkata “hai” saja? Fia benar-benar sedih, jarak membuat perubahan besar dalam hidupnya dengan Zanil. Jarak yang memisahkan, jarak yang tak memberikan ruang untuk saling melepas kerinduan. Terkadang ingin rasanya membunuh jarak agar Fia merasakan kedekatan kembali dengan kekasih jiwanya itu.
Suatu sore yang begitu kelam untuk kehidupan Fia, dia mengunjungi rumah kontrakan yang selalu Zanil jadikan tempat beristirahatnya. Dia melangkah demi langkah, meraih benda yang berada dihadapannya. Ya, sepeda ontel yang telah menjadi saksi bisu berjuta kenangan yang telah mereka lalui bersama. Melalui sepeda itulah, Fia berimajenasi mengukir kembali kenangan indah yang pernah mereka lalui bersama. Dia elus sepeda tua yang telah tak terawat itu, dia kembali berharap agar kekasihnya pulang untuk menghampirinya. Air mata itupun tak terbendung, tetes demi tetes air mata itu jatuh mengusap dan mengalir diantara celah sepeda yang penuh karat itu. Tak kuat dia merasakan perpisahan yang begitu lama dan begitu pahit untuk dia jalani sendiri.
“Nak, kamu gak pulang?”, tanya ibunda Fia melalui telepon genggam yang Fia berikan.
“Belum bu, aku disini masih menunggu mas Zanil.”, jawab Fia berkaca-kaca.
”Bukan kah hari liburmu telah tiba? Pulang lah nduk, tunggu Zanil dirumah saja. Kalau dia pulang, dia pasti akan menemuimu dirumah.”, rengek ibunda Fia.
“Tunggu beberapa hari lagi ya bu, mas Zanil bilang akhir bulan dia pasti pulang. Masa tenggang dia di luar negeri sudah habis bu. Ijinkan aku menunggu nya beberapa hari lagi ya bu”, pinta Fia berlinang air mata.
“Iya sudah nduk kalau itu kemauanmu, ibu hanya berdo’a agar nak Zanil cepat pulang ya nduk. Assalamu’alaikum.”, tutup ibunda Fia.
“Wa’alaikumsalam.”, jawab Fia mengakhiri telefon dengan ibunda nya.
Fia yang semula memiliki tubuh yang ideal, akhir bulan ini terlihat begitu kurus. Wajah yang dulu berseri-seri, kini lusuh tak seceria dulu. Dia memiliki banyak pikiran, memikirkan Zanil yang sampai detik itu tak kunjung menghubungi nya.
Akhir bulan telah datang, hari dimana Zanil akan pulang dengan membawa keindahan yang selalu Fia nantikan. Sejak pagi, Fia sudah bersiap diri menunggu kekasih hati pulang menemui dirinya. Hingga pada suatu sore, terdengar ketukan pintu dari luar kontrakan Fia. Dengan sigap Fia menghampiri menuju pintu, dan mulai menarik ganggang pintu dengan cepat. Dan....
“Mas Zanil...”, teriak Fia sambil memeluk Zanil dengan penuh kerinduan.
“Kenapa keadaanmu seperti ini? Kenapa kamu kurusan?”, tanya Zanil.
“Apa kamu tidak sadar kalau disini ada orang yang menunggu kepulanganmu? Kenapa sama sekali tak memberiku kabar selama disana? Apakah sudah lupa dengan calon istrimu disini?”, tanya Fia dengan penuh kesedihan.
“Maaf sayang, bukan maksudku seperti itu sayang. Tapi selama disana, ponselku disita. Jadi aku gak bisa menghubungi kamu, termasuk keluargaku”, jawab Zanil dengan penuh penyesalan.
“Apa gak bisa memakai telepon yang lain? Aku khawatir disini menantikan kabar darimu”, tanya Fia
“Maaf sayang, sekali lagi maaf. Aku sama sekali gak ingat berapa nomor telepon sayang dan orang rumah. Aku benar-benar minta maaf.”, permintaan maaf Zanil.
“Baiklah, setidaknya kamu telah sampai disini dengan selamat. Setidaknya kau pulang disini kembali untukku.”, ucap Fia.
Fia mempersilahkan Zanil masuk. Sembari menikmati makan malam, Zanil bercerita banyak tentang pengalaman luar biasa yang dimiliki nya. Tentang keluh kesah kerinduan yang setiap detik menghampirinya. Zanil tak henti-hentinya memikirkan pujaan hatinya itu. Memikirkan bagaimana keadaan calon pendaming hidupnya melewati hari-hari tanpa kehadiran dirinya disisi Fia.
Namun setelah pulang, cobaan kembali menghadang didepan mata mereka. Setelah Fia berkunjung kerumah Zanil, dengan sengaja orang tua Zanil menyindir keadaan calon menantu nya itu.
“Harusnya anakku mendapatkan wanita yang sesuai, yang sederajat dengan anakku. Lihatlah, anakku kini mulai sukses. Tapi apa yang dia dapatkan? Entahlah.”, sindir ibu Zanil didepan Fia.
Fia hanya bisa diam, dia mengerti bagaimana keadaan dan kondisi dia saat ini. Semua terserah Zanil, jika Zanil menginginkan dia tetap bersama nya, dia akan selalu setia menemani Zanil sampai waktu yang memisahkan. Namun kehendak berkata lain, Zanil termakan dan terhasut dengan kata-kata ibu nya. Perlahan-lahan dia mulai menghindar dan meninggalkan Fia. Fia merasa, hatinya begitu sakit. Ini balasan selama 5 tahun, balasan terhadap Fia yang selalu ada untuk Zanil. Saling berjanji untuk terus bersama. Sakit rasanya. Namun, mungkin ini sudah suratan takdir, Fia menerima semua yang terjadi dengan lapang dada. Mungkin Zanil memang bukan yang terbaik untuk mendampingi hidupnya.
Suatu sore yang begitu sunyi, terdengar jelas ketukan pintu dari luar rumah Fia. Dengan perlahan, Fia membuka pintu. Terlihat Zanil dan ibu nya dibalik pintu. Fia penasaran, apa yang membuat mereka datang menemuinya.
“Ada apa kalian datang kemari? Silahkan masuk dulu.”, ucap Fia mempersilahkan masuk.
“Gak usah, kita gak mau berlama-lama. Kita cuma mau ngasih ini”, jawab ibu Zanil sambil menyodorkan sebuah lipatan yang menyerupai kertas.
Zanil dan ibu nya pun beranjak pergi dari hadapan Fia.
Perlahan namun begitu pasti, Fia mulai membuka lembaran kertas itu. Isi didalamnya sangat jelas tertulis nama Zanil dengan Hera diatas lembaran kertas yang menjamin kebahagiaan Zanil nantinya. Ya, undangan pernikahan Zanil telah ada dalam genggaman Fia. Seketika, Fia tak berdaya, lemah dan mulai terjatuh. Tangisan kekecewaan pun larut dalam matanya yang sembab. Begitu dalam perasaan yang Fia punya untuk Zanil, namun seketika itu pula dia harus benar-benar melepas Zanil. Begitu mudahnya Zanil memutuskan hubungan itu dengannya, tanpa belas kasih, tanpa pula permintaan maaf dari bibir yang selalu menuangkan kata cinta beberapa bulan yang lalu. Kebahagiaan itu seakan musnah, hilang tak berbekas. Fia tidak tau apa yang harus dia lakukan, dia akhirnya membuang cincin yang selalu dia pakai di jari manisnya, cincin yang selalu dia jaga sebagai simbol ikatan hubungan yang telah mereka bina. Namun semua itu telah berakhir. Tak ada lagi harapan dan kenangan yang mesti Fia ingat kembali. Hari kemarin hanyalah masa lalu yang tidak akan pernah menjadi masa depan yang cerah.
“Ibu...”, tangis Fia dipangkuan ibunda nya.
“Ibu sudah tau nduk, yang sabar ya. Kamu harus bangkit dari masa lalumu itu nduk.”, ucap Ibunda Fia
“Iya bu, dia pasti sudah bahagia dengan pilihan orang tua dan dirinya. Bu, carikan aku jodoh yang engkau ridhoi bu. Ku serahkan sama ibu, bangkitkan aku dari keterpurukan ini bu”, pinta Fia.
“Kalau itu mau mu nduk, ibu akan mencarikan laki-laki yang InsyaAllah baik bagimu nduk.”, jawab ibunda Fia dengan nada sedih.
Waktu pun telah berlalu, Fia perlahan telah bisa beraktivitas seperti sedia kala. Menghapus jejak-jejak masa lalu yang pernah membayangi pikirannya. Hari itu pun datang, hari yang cerah bagi jiwa Fia yang telah lama sepi. Rombongan keluarga mendatangi rumah Fia. Keluarga tersebut adalah tak lain dan tak bukan, keluarga yang menginginkan Fia menjadi pendamping hidup anak mereka. Namanya Febri. Pertemuan kedua belah pihak keluarga membuahkan hal yang manis dan membahagiakan, saat itu pula kedua keluarga menyatukan tali silaturahmi dengan mengikatkan hubungan antara Fia dan Febri.
Tak lama kemudian, selang satu bulan, Fia dan Febri atas restu Allah mereka dapat melangsungkan pernikahan di rumah Fia. Keduanya pun begitu bahagia. Nampaknya Fia telah berhasil berjuang melupakan masa lalu nya. Kini yang ada dalam pikiran Fia, bagaimana caranya agar dia dapat membahagiakan suami dan keluarga kecil nya kelak. Keluarga Fia dan Febri merupakan suatu keluarga yang sempurna. Keduanya begitu menyayangi Febri dan Fia. Fia merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya dengan Febri, dia adalah sosok laki-laki yang sebenarnya dia inginkan. Terlebih kebahagiaan itu jauh lebih sempurna dengan hadirnya tangisan seorang bayi laki-laki ditengah-tengah keluarga kecil mereka.
Namun dibalik kebahagiaan Fia, kehidupan Zanil berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan oleh keluarga kecil Fia. Bertahun-tahun dia menikahi Hera, namun tak pula dikaruniai seorang anak. Ibu Zanil kesal dan kecewa terhadap Hera yang selama ini Ibu Zanil perjuangkan dan pertahankan, ternyata tidak memberikan kebahagiaan dengan hadirnya seorang bayi mungil dikehidupan mereka. Lantas pada akhirnya Ibu Zanil mengetahui bahwa Fia telah menikah dan dikaruiani seorang anak laki-laki.
“Lihat tuh si Fia, dia malah lebih jauh bahagia daripada kita saat ini. Dia telah menikah dan dikarunai seorang anak laki-laki yang gagah. Apa kamu gak malu Nil sama keluarga mereka? Pasti mereka bahagia diatas penderitaan keluarga kita”, ucap Ibu Zanil dengan lantang.
“Sudah lah bu, kita punya kehidupan sendiri. Mungkin kebahagiaan kita bukan terletak pada seorang anak. Siapa tau suatu saat nanti Allah menjawab do’a kita”, jawab Zanil.
“Iya, tapi sampai kapan? Sudah 5 tahun kamu beristri Hera. Tapi nyatanya dia tidak memberikan apa-apa sama keluarga ini. Ibu gak mau tau, kamu ceraikan dia. Secepatnya !!!”, bentak Ibu Zanil lalu berlalu pergi.
“Tapi buuuu...”, ucap Zanil
Zanil begitu teriris melihat kelakuan ibunya yang semakin hari selalu menuruti keirian dan kedengkian. Namun bagaimanapun, dia tetap lah ibunda yang selalu merawatnya.
Setelah perceraian itu, Zanil merasa menjadi boneka yang selalu harus menuruti permintaan ibunya yang sama sekali tidak dia kehendaki. Saat itu pula dia mulai terlintas memikirkan Fia. Dia mulai menyadari, yang selalu ada untuknya selama ini hanya Fia. Dia yang rela menunggu beberapa bulan demi kedatangannya dan selalu menjaga hatinya sampai Zanil kembali. Dia yang selalu support Zanil untuk melangkah sukses, dia juga yang mau bersusah-susah dengan Zanil dulu saat Zanil tak punya apa-apa. Ya, semua alasan itu kini tertuju pada Fia. Dia merupakan sebaik-baiknya wanita yang Zanil kecewakan demi iming-iming perempuan yang sama sekali tak mengerti dirinya. Dia juga yang tak berjuang mempertahankan dan memberi penjelasan tentang apa yang telah dilakukan Fia selama dengannya pada saat Ibu nya mengucilkan dan merendahkan harga diri Fia. Sampai akhirnya dia terima begitu saja wanita yang sama sekali belum dia kenal dan tidak pernah dia cintai sesudahnya.
“Bagaimana keadaan Fia saat ini ya? Apa dia sudah benar-benar bisa hidup tanpa aku? Ahh, biarkan lah dia bahagia, ini semua salahku yang terlalu menyia-nyiakannya dulu. Maafkan aku Fia..”, pikir Zanil
Saat itu, Zanil melintas didepan rumah keluarga kecil Fia. Dia melihat Fia bersama suami dan putra tercintanya. Zanil meneteskan air mata, dia berfikir harusnya dia yang berada disamping Fia saat ini, bukan Febri. Namun keadaan ini merupakan hal yang nyata yang tidak bisa Zanil ubah kembali. Kekecewaan yang pernah dia torehkan pada hati orang lain menimbulkan petaka bagi keluarga nya sendiri. Zanil harus mampu merelakan Fia ditangan Febri, sama seperti Fia yang dulu pernah berjuang keras melupakan Zanil demi kebahagiaannya. Takdir terkadang berbeda dengan apa yang kita rencanakan. Jodoh memang ditangan Allah, namun sebaiknya saat ini mulai membuka hati dan pikiran untuk melangkah lebih serius, agar penyesalan itu tak akan terjadi dikemudian hari.

Rawatlah yang telah menjadi milikmu kini, bisa jadi suatu saat nanti ketika dia pergi, dia merupakan sosok yang sebenarnya kamu harapkan untuk mendampingi hari-harimu. Jangan kecewakan dia yang mencintaimu lebih dari apa yang kau tau. Karena dia yang sebenarnya selalu ada disaat kamu terjatuh.

No comments:

Post a Comment

 

Blogger news

Blogroll

About